Aktor dan Sutradara Rano Karno: Si Doel Itu Hidup bagi Saya
Aktor dan Sutradara, Rano Karno:
Si Doel Itu Hidup bagi Saya
Awal mula dikenalnya Rano Karno dalam dunia perfilman ketika memerankan Kasdullah alias Doel dalam film Si Doel Anak Betawi. Film drama keluarga yang rilis tahun 1972 ini diangkat dari novel karangan Aman Datoek Madjoindo dengan judul yang sama.
Prestasi gemilang serta pengalaman Rano di dunia perfilman tidak lepas dari peranan pemain-pemain senior yang menjadi guru baginya. Ia sempat menyebutkan nama pemain seperti Mak Wok (Wolly Sutinah), Fifi Young, Rachmat Hidayat, W.D. Mochtar, termasuk Benyamin Sueb. Sang ayah, Soekarno M. Noor, yang juga aktor enggan mengajari anaknya. “Dia bilang kalau kamu belajar sama saya, kamu cuma jadi saya,” ungkap Rano, 57 tahun, mengutip perkataan sang ayah.
Realita materi cerita yang diangkat pada perfilman tahun 1970-1993 belum ada yang menyangkut tentang perjuangan wanita. Wanita pada waktu itu hanya bertindak sebagai supporter di film, peran leader tetap dipegang laki-laki. Rano menyebutkan contohnya pada film yang pernah ia bintangi bersama Widyawati, yakni Arini, Masih Ada Kereta Yang Lewat (1987).
Turunnya produksi film tahun 1993 dan transisi ke televisi membuat Rano mengalihkan naskah skenario film Si Doel Anak Sekolahan menjadi naskah skenario sinetron 6 episode. Namun, perjuangannya dalam mengajukan naskah tersebut ke beberapa stasiun televisi tidaklah mudah.
Berbagai penolakkan ia alami, tidak jarang satu atau dua stasiun televisi langsung menolak dengan alasan cerita Si Doel Anak Sekolahan adalah cerita kampung. Walaupun begitu, Rano yakin berkat kesabarannya menunggu selama 6 bulan, Si Doel Anak Sekolah dapat mengudara.
Rano jujur ia tidak ada niat membuat sinetron Si Doel Anak Sekolahan berbicara tentang kebudayaan, tapi banyak orang yang menganggap sebaliknya. Ia juga menyatakan kekhawatirannya terhadap bangsa yang kini sedang rentan masalah perbedaan. Ia berharap agar film dan sinetron dapat menjahit bangsa ini lagi.
Rano lahir di Kemayoran, Jakarta Utara pada 8 Oktober 1960. Besarnya ia di Kemayoran membuatnya paham dan memotret kebudayaan serta kehidupan di Jakarta, tak terkecuali masyarakat Betawi.
Usai pratinjau adegan Si Doel The Movie dan sholat Dzuhur, Rano menerima Nadila Taufana, mahasiswa Program Studi Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (Fikom Unpad) untuk melakukan wawancara pada Selasa, 22 Mei 2018 di kantor Karnos Film, Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Dalam wawancara yang berlangsung selama satu jam setengah, mantan Gubernur Banten itu berbicara soal minatnya di dunia politik yang membuat ia mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Ilmu Pemerintahan Abdi Negara sampai ke harapannya bagi sineas muda.
Bagaimana awalnya Anda masuk ke dunia perfilman?
Di film saya dari kecil, ya kalau ditotal sudah dari umur 9 atau 10 tahun. Memang saya nggak perdalam seperti yang lain tapi saya tahun 80-an pernah sekolah akting di Amerika. Saya kursus akting di Los Angeles sejak lulus SMA. Kalau di bidang perfilman, saya mulai dari umur 9 tahun sampai sekarang kembali lagi ke dunia film setelah resign dari dunia politik. Tapi jujur, secara teknikal saya otodidak. Misalnya penyutradaraan, saya tidak pernah belajar tentang itu. Saya belajar hanya pengalaman di lapangan selama di dunia film. Saya mempelajari dunia editing, tapi bukan sebagai operator. Karena waktu itu saya berpikir seorang sutradara akan jauh lebih unggul kalau dia menguasai editing. Saya tidak sekolah film yang seperti sinematografi, itu lebih pada ke pengalaman.
Mengapa tidak mempelajari perfilman lewat pendidikan formal?
Karena kebetulan saya masuk sebagai pemain. Pemain bukan berarti tidak masuk pendidikan. Tapi pendidikan formal belajar akting tidak, saya belajar teater. Saya masuk di sebuah sanggakr teater anak. Kebetulan mungkin kamu pernah dengar Yessi Gusman, itu teman main saya, satu sanggar. Saya banyak belajar mengolah akting di sanggar. Karena teater itu ada dua, teater teatral seperti drama-drama Riantiarno, tapi juga ada teater drama seperti Teguh Karya. Di Indonesia ini terkenalnya teater yang teatral. Jadi di sanggar saya lebih banyak mengambil untuk belajar bagaimana mengolah vokal, tata pentas, dan lain-lain. Tapi tidak belajar di kampus, karena saya berangkat sebagai pemain dulu.
Lalu mengapa memilih melanjutkan pendidikan ke Sekolah Tinggi Ilmu Pemerintahan?
Sejak 2007 saya masuk di kancah perpolitikan. Semakin saya masuk semakin saya ingin tahu, saya orangnya seperti itu. Saya kuliah di STIPAN, Sekolah Tinggi Ilmu Pemerintahan Abdi Negara. Karena saya masuk ke dunia politik, saya ingin tahu apa dunia politik itu. Ternyata sangat berbeda antara buku dan apa yang ada di lapangan. Sangat jauh sekali perbedaannya.
Siapa orang yang paling berjasa dalam perjalanan karier Anda?
Terlalu banyak. Sejak era 70-an saya sudah ada di dunia film, saat itu film mati layu. Boleh dibilang film Indonesia tampil kembali sejak era film anak-anak, era saya. Jadi yang berjasa banyak, seperti Mak Wok (Wolly Sutinah) itu ibunya Mak Nyak (Aminah Cendrakasih). Dulu ada pemain namanya Fifi Young, ya dia pemain senior. Terlalu banyak, kenapa saya bilang terlalu banyak? Karena dulu almarahum ayah saya, Soekarno M. Noor, dia seorang aktor. Tapi dia tidak mau ngajarin saya sebagai pemain, dia bilang kalau kamu belajar sama saya, kamu cuma jadi saya. Karena itu saya belajar banyak kepada orang-orang yang ada, termasuk Rachmat Hidayat, W.D. Mochtar, ya pemain-pemain senior. Jadi mungkin saya ini bukan satu-satunya, tapi transisi pemain lama dengan angkatan baru ya saya, yang lain sudah nggak ada. Termasuk almarhum Benyamin itu juga guru saya, walaupun saya sutradarai dia dalam Si Doel, tapi tetap saja dia sutradarai saya. Karena film itu nggak bisa kerja sendiri, film itu harus kolektif.
Sepanjang karier perfilman Anda, film mana yang paling berkesan?
Mungkin ada tiga, karena saya anggakp saya ambil tiga generasi. Generasi cilik, itu film Si Doel Anak Betawi, karena buku Si Doel Anak Betawi kira-kira tahun 70-an saya sudah baca, karangan Aman Datoek Madjoindo. Sehinggak waktu pada cerita itu dibuat film dan saya yang main, wah sama juga kamu sudah baca novel tiba-tiba kamu yang diminta untuk bermain. Kebetulan film itu juga mengangkat saya, artinya saya dikenal di dunia perfilman sejak film itu. Kalau film remaja, ada dulu film judulnya Suci Sang Primadona, walaupun ada film judulnya Gita Cinta dari SMA. Bukannya saya tidak suka dengan Gita Cinta dari SMA, tapi untuk kualitas permainan itu ada pada Suci Sang Primadona. Kemudian kalau film dewasa, ya Taksi, kebetulan itu film pertama saya yang mendapat Piala Citra. Setelah ini, saya masuk di dunia televisi, ya sekarang film favorit saya Si Doel Anak Sekolahan.
Siapa lawan main yang paling berkesan?
Hampir semua lawan main berkesan. Si Doel Anak Betawi misalnya. Jujur, karena saya sudah sangat hafal ceritanya. Bahkan saya terobsesi sehinggak ada Si Doel Anak Sekolahan. Sebenarnya Si Doel Anak Sekolahan tidak ada kaitannya dengan novel Si Doel Anak Betawi. Tapi kamu ngebayangin kalau kamu baca novel lalu kamu berimajinasi melanjutkan novel itu, itu lah Si Doel. Kalau remaja, Suci Sang Primadona. Saya bertemu pemain-pemain senior, termasuk almarhum ayah saya. Disutradarai oleh sutradara bagus, Arifin C. Noor. Kemudian pemain baru, waktu itu main pertama kali, namanya Joice Erna. Dan itu transisi saya dari cilik ke remaja, karena usia saya 17 tahun waktu itu. Hampir semua film yang saya mainkan, termasuk dengan Yessi Gusman, Lidya Kandou, Mbak Widyawati.Ya termasuk yang terakhir, sinetron dengan keluarga Si Doel. Karena bagi kita, pemain, tidak ada persaingan. Yang ada hanya kerja kolektif, kita nggak akan pernah tampil baik kalau kita tidak bisa mengangkat orang untuk jadi baik. Kamu bisa lihat kualitas permainan orang, “oh dia lebih menonjol kok ini biasa-biasa saja”. Bukan berarti dia hebat, berarti dia gagal mengangkat orang ini. Anda bayangkan ketika Maudy pertama kali syuting Si Doel dengan Benyamin, dia sebagai None Jakarta, keringetnya itu kaya jagung keluar saking groginya. Tapi bagaimana Anda bisa bayangin seorang Benyamin mengangkat Zaenab. Kalau nggak, nggak akan jadi kayak gini Zaenab. Itulah hebatnya orang-orang dulu. Setiap film yang saya mainkan, setiap pemain yang saya jadikan lawan main, semua itu adalah guru-guru.
Saat kesuksesan Gita Cinta dari SMA melejit, Anda dijadikan standar pria tampan pada masa itu. Tanggapan Anda?
Ha.. Ha.. Ha.. Ya sama seperti Ada Apa Dengan Cinta atau Dilan. Dibilang standar pria tampan, bukan pria tampan sebenarnya. Tokohnya yang membuat pria itu menjadi tampan, sebelum Gita Cinta dari SMA, saya juga sudah main. Tapi apalagi setelah film itu, itu hasil cerpen karangan Eddy D. Iskandar dulu di majalah Gadis. Jadi, memang film itu sudah populer, cerita itu istilahnya sudah top lah siapa yang nggak kenal Gita Cinta? Sama seperti Ada Apa Dengan Cinta. Kalau saya ya biasa-biasa saja, nggak nganggep juga tampan. Karena ada yang jauh lebih tampan lagi, gimana kurang tampan Sophan Sophiaan? Waktu itu memang saya dan Yessi Gusman dianggap pasangan serasi, pokoknya pasangan paling cakep sedunia. Tokoh itu mengangkat kita, tokoh itu sudah dikenal masyarakat.
Apa pengalaman paling menarik sewaktu pembuatan film Gita Cinta dari SMA?
Jujur, saya nggak bisa nari. Sementara Gita Cinta itu nari, saya kan jadi penyanyi. Saya nggak bisa nari, ya nari sih bisa tapi kan kalau nari bagus pakai latihan dan lain-lain. Jadi pengalaman menarik buat saya, saya belajar menari dengan grup Swara Mahardika daripada belajar akting.
Dalam buku Nonton Film Nonton Indonesia, dijelaskan tentang bagaimana perempuan terlihat di film dalam rentang waktu 1970-1993 dan banyak film yang menggakmbarkan perempuan sebagai pemuas halwa mata atau sosok yang lemah/perkasa. Tanggapan Anda?
Memang realita pada tahun-tahun itu film Indonesia yang bercerita tentang wanita berkisar seperti itu, walaupun tidak semua. Tapi bahasan yang laku seperti itu. Sama seperti Arini, Arini yang pertama yang main saya dan mbak Widyawati. Saya jadi Nick, mbak Widyawati jadi Arini. Ceritanya juga dari novel, waktu itu novel bercerita tentang perempuan juga, ya tidak sepahit itu, tapi memang cerita perempuan saat itu hanya framing-framing itu. Belum laku framing perempuan sebagai seorang pejuang, karena penonton kita waktu itu barangkali seleranya begitu. Dan di Indonesia mudah-mudahan suatu saat akan berubah. Dulu ya maaf maaf kata, tahun 70-an temanya seks. Materi cerita yang diangkat hanya kasus-kasus itu, makanya boleh dibilang film Indonesia waktu itu film kacangan, film murahan lah istilahnya. Perempuan hanya jadi simbol seks dan pemanis. Perempuan bukan dijadikan tokoh cerita, tokoh cerita pasti laki-laki. Perempuan bukan sebagai leader, melainkan supporter. Misal judul tetap Arini, tapi peran utamanya di Nick.
Bagaimana Anda menyikapi surutnya produksi film Indonesia tahun 90-an yang berbarengan dengan berkembangnya stasiun televisi swasta?
Itu transisi paling berat pada waktu itu. Waktu itu mungkin film Indonesia tidak terlalu banyak, bukannya tidak ada. Tapi yang surut itu tahun ‘70, maka pada tahun itu diawali dengan film anak-anak. Kebetulan yang main saya, tapi bukan hanya saya, ada pemain lain. Sejak saat itu, film Indonesia meningkat. Di awal tahun ‘90 bukan hanya transisi televisi tapi juga terjadi krismon. Kemudian dengan era televisi, menurunlah jumlah penonton. Lahirlah Si Doel Anak Sekolahan, awalnya saya siapkan untuk film. Tapi karena waktu itu tahun ‘93, film sedang turun. Bioskop nggak ada yang mau puter, kalaupun ada penontonnya sedikit. Ya dari naskah skenario film saya bikin jadi sinetron 6 episode. Itu mungkin penyiasatan saya menyikapi surutnya transisi film.
Bagaimana perjuangan Anda mengajukan sinetron Si Doel ke stasiun televisi?
Dulu meyakini televisi tidak mudah, karena Si Doel ini kan cerita kampung. Dulu waktu transisi televisi, minimal orang yang kerja di televisi itu orang Filipina. Nggak ada orang Indonesia, karena itu teknologi baru. Saya nawarin Si Doel itu tidak diterima dengan mudah, semua station menolak. Terakhir RCTI nerima saya karena hampir 6 bulan saya nunggu di ruang tunggu. Dia baca skenario lalu bilang itu cerita kampung, karena dulu station TV masih telenovela. Belum banyak sinetron Indonesia. Enam bulan saya nawarin Si Doel ke RCTI, akhirnya Si Doel diterima karena kasihan ngeliat saya dateng.
Setelah enam episode tayang, bagaimana reaksi RCTI?
Wah ini pembuktian lagi. Pertama, dia pasti kasihan. Kedua, sinetron itu diputar di bulan puasa. Dulu sinetron Indonesia nggak ada yang mau diputar di bulan puasa karena nggak ada yang nonton. Eh nggak tahunya Si Doel bikin orang nggak sholat tarawih, tapi karena begitu setiap tahun Si Doel diputar di bulan puasa. Sampai saya pernah dapat surat dari MUI diminta agar tidak diputar pas tarawih. Ya susah, bukan urusan saya, itu urusan station tv.
Keluarga Cemara yang juga tayang tahun 90-an memiliki episode lebih banyak, mengapa?
Itu beda. Keluarga Cemara yang menulis itu Arswendo CS. Mereka banyak tim penulis, kalau Si Doel yang menulis cuma saya. Bikin Si Doel itu susah, nggak bisa dikonsep. Kamu tidak bisa tanya endingnya seperti apa, karena nggak tahu. Jalan saja, mengalir. Suatu saat saya nggak ada, insyaaAllah Si Doel pasti akan diteruskan. Terbukti Benyamin sudah meninggal, Si Doel lanjut. Basuki terakhir meninggal, Si Doel lanjut. Jadi kalau orang tanya, bagaimana Si Doel? Ya nggak tahu, ngalir saja. Si Doel itu susah dikonsep. Si Doel itu hidup seperti kehidupan. Kadang jadi aneh, setiap ending membuka cerita yang baru.
Bagaimana kondisi penyebaran budaya lewat perfilman pada tahun 90 an?
Sebenarnya saya nggak punya niat untuk menyebarkan budaya, tapi orang melihat seperti itu. Karena mungkin yang saya buat adalah kebudayaan. Tapi dari sebagian budayawan Betawi juga menganggap saya tidak mereferensikan itu, saya hanya buat tontonan. Hanya kemasasannya, memang saya tidak bercerita tentang budaya. Mungkin secara tidak langsung budaya yang saya potret adalah budaya pemikiran dari kultur setempat masyarakat Betawi. Dulu jarang adegan sinetron pergi pasti salam cium tangan, “Asalamualaikum, Nyak”. Nggak ada, Si Doel yang mulai. Itu saya dianggap memotret, padahal tidak. Itu naluri saya saja. Saya bukan orang Betawi, tapi Si Doel anak Betawi. Ternyata anak Betawi itu banyak yang ingin dinikmati, tapi terbelenggu oleh situasi ekonominya. Kamu boleh riset, tidak banyak orang Betawi kerja di pemerintahan karena dianggap kerja sama kompeni. Makanya ada bapaknya si Doel, Sabeni, dia ingin anaknya sekolah tapi dia nggak tahu kalau sekolah butuh biaya besar, apalagi kuliah.
Lalu bagaimana seharusnya sekarang film atau televisi bercerita?
Sekarang harusnya cerita kita tentang budaya, karena budaya kita sudah hampir robek. Sangat rentan gesekan, sudah tidak dihargai lagi jangankan soal agama. Apa bedanya agama? Saya dulu jaman kecil tinggal di daerah Cina tidak ada masalah, sekolah di Katolik tidak jadi Katolik. Belakangan kita jadi rentan, dipaksa berbeda salah. Kan aneh, mau diarak kemana? Harusnya, sinetron bisa bicara tentang itu, orang menganggap Si Doel yang bisa menjahit itu. Cuma sekarang tidak banyak televisi yang mau bicara soal itu, takut. Film dan sinetron bisa bicara tentang ini, menyadarkan masyarakat, kecintaan, dan perbedaan. Itu yang sedang diperlukan Indonesia sekarang. Ini waktu yang tepat untuk menjahit bangsa ini lagi, lewat tontonan.
Apakah sinetron Si Doel selanjutnya masih akan berbicara tentang budaya?
Saya tidak pernah sadar membuat sinetron ini bicara soal budaya. Tapi saya mencintai kebudayaan ini, makanya ada Karyo orang Jawa, ada orang Medan, dan lain-lain. Karena saya hidup di tengah masyarakat itu. Ada orang yang mencoba buat film tentang NKRI, tapi dibaca dengan nyinyir. Karena dia sadar dia membuat film itu untuk membuat persatuan. Itu sulit dilakukan sekarang.
Mengapa Si Doel menjadi sinetron televisi yang fenomenal tahun 90-an?
Saya tidak pernah tahu sampai sekarang apa yang membuat Si Doel fenomenal. Tidak ada tolak ukur yang bisa mengukur kesuksesan Si Doel. Saya tidak pernah mempersiapkan Si Doel untuk sukses, saya jalan saja. Orang bilang Si Doel sukses, saya juga bingung darimana ukurannya. Tapi Si Doel memang pernah mencapai rating tertinggi di dunia. Nah, Si Doel belum pernah jadi film, makanya saya bikin Si Doel The Movie. Kalau di bioskop, tolak ukur sukses itu jumlah penonton.
Anda bukan orang Betawi, lalu darimana Anda mempelajari budaya Betawi?
Saya lahir dan besar di Kemayoran. Kebudayaan Betawi lebih banyak di sana, hampir semua seniman berkumpul di Kemayoran. Dulu di samping Bioskop Rex, ada rumah makan padang. Di situ tempat berkumpul Pak Harmoko, Asrul Sani, Misbach Yusa Biran, semua bintang nongkrong di sana. Tapi tidak ada film, waktu itu kebanyakan teater. Mungkin karena saya lahir di sentral Jakarta, minimal saya potret lokalisasi, pasar, pendidikan, kebudayaan. Di Senen itu dulu ada Wayang, ada Lenong. Saya merasa saya ada di sana, saya potret kehidupan dan keinginan mereka.
Apa perbedaan signifikan perfilman abad 20 dengan abad 21?
Wah jauh, terutama teknologi. Dulu film masih pake seluloid, foto kan masih pake Kodak/Fujifilm. Sekarang pake memory card, itu sudah signifikan perubahannya. Dulu foto kita mesti cetak lagi, belum lagi black and white. Teknologi sekarang makin berkembang, harusnya semakin berkembang teknologi, semakin maju. Bahkan besok ada film Malahyati, pahlawan dari aceh. Bayangkan kalau dulu bikin kapal belanda. Sekarang dengan teknologi itu jadi mudah, tapi tetap saja pekerjaannya lama karena detail. Sekarang yang namanya bioskop bukan proyektor lagi, tapi infocus yang besar. Dulu masih stereo, sekarang sudah Dolby.
Bagaimana antusiasme masyarakat menyambut Si Doel akan tayang lagi di layar lebar?
Kalau dari media sosial memang antusias. Doel ini sudah punya penonton. Twitter, Instagram, Facebook, itu animonya tinggi. Bahkan Si Doel akan premiere di tiga negara, Indonesia, Belanda, dan Australia. Mudah-mudahan sambutannya baik.
Hal apa yang mendasari Anda untuk melanjutkan kisah Si Doel?
Seperti yang saya bilang, Si Doel itu hidup bagi saya. Saya mungkin meninggaklkan film ini sudah 10 tahun, orang masih kenal saya sebagai Doel. Bahkan waktu saya jadi gubernur, saya dipanggil Pak Doel, nggak pernah dipanggil pak gubernur. Setelah usai dari dunia politik dan kembali ke film, pasti yang paling mudah saya buat adalah Si Doel.
Apa pesan dan harapan Anda untuk sineas muda?
Momen itu tidak akan pernah habis. Selama petani masih menanam padi di sawah, cerita masih akan terus hadir. Hanya mudah-mudahan cerita itu dikemas dengan teknologi yang baik tapi untuk kegunaan kita yang bisa kita gunakan kepada orang lain. Buat saya seperti itu.***
Rano Karno
Tempat dan tanggal lahir: Jakarta, 8 Oktober 1960 | Alamat: Jl. Karang Indah A2/6, Perumahan Bumi Karang Indah, Lebak Bulus, Jakarta Selatan | Alamat pos-el: hajiranokarno@gmail.com | Pendidikan: SMAN 6 Jakarta, Sekolah Tinggi Ilmu Pemerintahan Abdi Negara | Karier: Wakil Bupati Tangerang (2008-2011), Wakil Gubernur Banten (2012-2014), Gubernur Banten (2014-2017), Aktor, Penulis Skenario, Sutradara | Filmografi dan sinetron: Si Doel Anak Betawi (1972), Suci Sang Primadona (1977), Gita Cinta dari SMA (1979), Arini, Masih Ada Kereta Yang Lewat (1987), Arini II (1988), Taksi (1990), Si Doel Anak Sekolahan (1993-1997), Si Doel Anak Gedongan (2005-2006) | Penghargaan: Bintang Drama Pria Terfavorit dalam Panasonic Awards 1997, Penghargaan Surjosoemanto dari BP2N (Dewan Film Nasional) 1997, Aktor Utama Terbaik dalam Taksi FFI 1991, Best Child Actor FFA 1974 di Taiwan lewat film Rio Anakku (1973)
![]() |
Dokumentasi aktor dan sutradara Rano Karno oleh anaknya, Deanti Rakasiwi di kediamannya di Lebak Bulus, Jakarta Selatan pada Jumat 25 Mei 2018. Foto: Deanti Rakasiwi
|
![]() |
Dokumentasi aktor dan sutradara Rano Karno oleh anaknya, Deanti Rakasiwi di kediamannya di Lebak Bulus, Jakarta Selatan pada Jumat 25 Mei 2018. Foto: Deanti Rakasiwi
|
![]() |
Dokumentasi aktor dan sutradara Rano Karno oleh anaknya, Deanti Rakasiwi di kediamannya di Lebak Bulus, Jakarta Selatan pada Jumat 25 Mei 2018. Foto: Deanti Rakasiwi
|
Comments
Post a Comment